Friday, December 11, 2015

Rumah Belajar “Embrio” : Dua Jam Sebagai Pengganti Peran Ayah-Ibu Bekerja (Part 1)

Pengertian sederhana dari social entreprenership adalah mengerti permasalahan sosial di masyarakat dan melihatnya sebagai peluang untuk melakukan perubahan sosial dengan menggunakan kemampuan kewirausahaan.

Memiliki penghasilan rutin tentu menjadi kebutuhan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya.  Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia juga memiliki hati nurani yang dapat ‘tersentuh’ untuk tidak melulu menomorsatukan materi dan mendahulukan hal-hal yang bersifat sukarela atau tanpa imbalan. Memberikan nasi kotak dari rapat kantor kepada pemulung atau tukang sampah yang ditemui di jalan, menghadiahi alat tulis untuk anak warga jemaat/gereja yang berada dalam kondisi pra sejahtera, memberikan pelajaran matematika tambahan kepada anak-anak di sekitar rumah, atau kalau di kota Bandung, ada seorang Bapak sepuh yang dengan sukarela setiap hari berkeliling kota Bandung (sesuai dengan kemampuan tubuhnya, tentu saja) untuk mencopoti paku di pohon yang dipasang untuk menempelkan iklan dan membersihkan sampah yang dijumpai[1].

Biasanya sikap sukarela ini lahir karena si pelaku mengerjakan (atau dalam bahasa spiritual sering disebut sebagai ‘panggilan’) hal-hal yang dia sukai dan memberikan kebahagiaan bathin yang nilai kepuasannya seringkali jauh melampaui nilai materi. Kalaupun ada materi yang didapat, tentu saja disyukuri sebagai rezeki yang diberikan Sang Maha Pemberi.

Menyoal social entrepreunership, kali ini saya akan secara khusus bercerita mengenai sebuah rumah belajar di kota Bandung. Berjuluk Rumah Belajar “Embrio”, sang pendiri berniat untuk membantu anak-anak SD untuk mengerjakan PR dari sekolah maupun berlatih soal-soal. Si pendiri ‘kebetulan’ adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang sangat menyukai matematika, dan pernah bertahun lamanya menjadi karyawan perusahaan tekstil ternama sebagai akuntan. Kegemaran dengan matematika itu ditularkan kepada anak semata wayang, yang sukses mengantarkan si anak menjadi juara kompetisi-kompetisi matematika se-Bandung. Melihat prestasi sang putra, beberapa orang tua murid lain mengajukan permintaan kepada beliau untuk membuka les di dekat sekolah[2]. Awalnya si ibu bergabung dengan beberapa kawan membuka rumah belajar. Dimulai dengan hanya 1 orang murid saja pada waktu itu. Seiring dengan promosi dan prestasi, maka semakin banyaklah anak murid yang mendaftar dan bergabung. Namun seiring waktu juga, rupanya ada kesalahpahaman dari si Ibu dengan para rekan di rumah belajar tersebut. Lalu dengan niat ikhlas si ibu mengundurkan diri, dan mulai merintis Rumah Belajar “Embrio”. Sendirian. Dengan bantuan sahabat dan donatur, dimulailah perjalanan kisah Rumah Belajar “Embrio”.


Bersambung ke Bagian 2 di sini




[1] Sariban. Namanya disebut oleh Ridwan Kamil, Walikota Bandung, ketika menerima anugerah Adipura tahun 2015 yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia sebagai penghargaan atas pencapaian kebersihan kota. Sariban adalah salah satu sosok yang diharapkan dapat menginspirasi warga Bandung lainnya untuk tetap menjaga kebersihan kota. Tidak ada yang menggaji Sariban. Tapi dia melakukan atas dasar kesadaran bahwa bumi ini ciptaan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga kelestariannya. Sesederhana itu.
[2] Saat itu si anak bersekolah di salah satu sekolah dasar katolik yang berada di daerah Bandung Timur.

No comments:

Post a Comment